Minggu, 29 Mei 2011

Mahfud MD: Ada Upaya untuk Menghancurkan MK

Samarinda, CyberNews. Pemberian uang oleh Bendahara Umum Parta Demokrat, Muhammad Nazaruddin terhadap Sekjen MK Janedjri M Gaffar, disinyalir oleh Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD, merupakan upaya konspirasi untuk menghancurkan lembaga yang menaunginya itu.
"Saya nilai ini bahaya sebab dia (Nazaruddin) memberi uang tetapi tidak punya perkara. Setelah Sekjen MK melaporkannya, saya langsung minta agar uang itu segera dikembalikan hari itu juga sebab saya takut itu upaya konspirasi untuk menghancurkan MK," ungkap Mahfud MD di satu seminar di Kantor Gubernur Kalimantan Timur, Samarinda, Sabtu (21/5).
Transaksi uang tersebut terjadi pada 23 September 2010 di sebuah rumah makan di Kawasan Kemang, Jakarta Selatan. Uang itu kemudian dikembalikan Janedjri M Gaffar pada 27 September 2010. "Sekjen MK dipanggil oleh Nazaruddin, lalu diberi uang 120 ribu dolar Singapura atau setara hampir Rp1 miliar.
Ketika ditanya, Nazaruddin tidak mau menjawab dan langsung pergi. Sekjen MK kemudian menelpon dia untuk mengembalikian uang itu namun Nazaruddin menolak dan mengatakan itu sebagai hadiah untuk sekjen," katanya.
Mahfud meneruskan, "Sekjen MK itu lalu melapor kepada saya bahwa dia telah menerima uang, aneh, lalu saya beranggapan, ini bahaya bagi MK kemudian saya langsung perintahkan agar segera dikembalikan."
( Ini / CN32 )

INDONESIA DALAM KONDISI BAHAYA

Meski tampak tenang, namun sebenarnya Indonesia dalam kondisi bahaya. Kondisi bahaya itu menurut Prof Dr Mahfud MD, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), bukan karena perang dari luar atau ancaman dari luar sebagaimana yang diatur dalam konstitusi, tetapi justru karena ancaman dari dalam sendiri.

”Saat ini proses penegakan hukum, penegakan keadilan dan kebenaran dan proses pembangunan demokrasi, macet karena saling sandera menyandera,” kata Prof Dr Mahfud MD pada wartawan usai melantik Pengurus Ikatan Keluarga Alumni Universitas Islam Indonesia di Pyramid, Sewon, Kabupaten Bantul, Sabtu (28/5).

Mahfud menambahkan, sandera-menyandera itu sangat nyata. Ia menyontohkan, jika si A melakukan korupsi besar, maka proses hukum akan sulit dilakukan karena si A sudah menyandera si B yang sebenarnya orang yang harus menegakkan hukum. Ini bisa terjadi karena si B sudah disuap oleh si A.

Demikian pula ketika A meminta C untuk menyelesaikan, C juga tidak bisa karena juga menerima suap.
”Inilah yang terjadi dalam sistem pemerintahan di negara tercinta kita ini. Dulu kita punya kerajaan Majapahit, Demak dan Mataram, semua hancur karena tidak bisa memujudkan keadilan dan kebenarannya,”paparnya.
Menurutnya, dalam kondisi seperti ini, hampir-hampir tidak ada yang mampu menggunting simpul sandera menyandera itu. Hal itu sangat mungkin terjadi karena ketika satu kasus terungkap, maka semua beramai-ramai meributkannya.

Dengan harapan agar kemudian mengambangkan kasus itu hingga tidak pernah sampai selesai. ”Sampai saat ini mana kasus besar yang bisa sampai ke ujungnya? Tidak ada, karena semua diselingkuhkan secara politik dan akhirnya macet karena tersandera,”katanya.

Selain itu Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia itu menambahkan, ada cara lain untuk menghilangkan kasus yang akan terungkap. Caranya, katanya, dengan memunculkan kasus baru, sehingga kasus yang diributkan itu menjadi hilang. ”Demikian hingga akhirnya orang melupakan,” tegasnya.
Namun Mahfud enggan menyebutkan contoh kasus yang merupakan kondisi saling menyandera itu. ”Tidak usahlah menyebut kasus konkret. Saya pikir kalian juga sudah tahu sendiri,”tambahnya.

Mahfud mengakui kondisi saling menyandera itu memang sangat berbahaya bagi kelangsungan hidup negara Indonesia. Ia kemudian mengungkap keyakinannya, bahwa suatu bangsa atau negara yang tidak mampu menegakkan keadilan, maka negara itu hanya menunggu waktu untuk hancur.
Menurut dia, itu adalah fakta sejarah maupun berdasar ajaran agama.
Untuk keluar dari situasi semacam itu, perlu adanya proses penegakan hukum yang tidak pandang bulu dan yang bisa melakukannya adalah para pemimpin di negara ini.

Namun, para pemimpin itu harus bersih terlebih dahulu. ”Orang yang dipasang di institusi penegakan hukum itu harus orang yang bersih, orang yang tegas dan orang yang tidak bisa diancam,”katanya.
Memang bukan takut pada ancaman fisik tetapi pada ancaman masa lalunya.
Menurut dia pula, untuk keluar dari kondisi ini diperlukan suatu tindakan radikal yang dimulai dari pucuk pimpinan. ”Termasuk Presiden, Jaksa Agung, Ketua MA, semuanya,”ujarnya.

Melalui Proses KKN

Selain itu, masyarakat sipil seperti LSM dan juga para wartawan profesional harus mengawal proses perekrutan politik untuk munculnya seorang pemimpin, agar tidak terjadi lagi proses sandera-menyandera. Artinya, masyarakat sipil harus mencegah terbukanya kembali peluang pemimpin bisa tampil melalui proses KKN.
Saat ini, kata Mahfud, ia melihat demokrasi di Indonesia bisa berjalan dengan benar dengan pengawalan yang ketat oleh pilar LSM dan pers. ”Institusi-institusi negara, seperti legislatif, eksekutif dan yudikatif saat ini sudah tidak bisa diharapkan lagi,”katanya.
Ia juga mengatakan, cara lain untuk keluar dari kondisi sandera-menyandera ini, bangsa ini harus memutuskan dengan masa lalu.

”Karena pelanggaran hukum itu sudah sedemikian banyak, maka saat ini diputus dengan cara pemutihan. Sudahlah yang lalu kita anggap selesai, asal ke depan kita bertekad untuk tidak mengulanginya,”ujarnya.
Ia mencontohkan, negara China adalah contoh yang patut ditiru dalam usaha untuk keluar dari kondisi sandera-menyandera ini. ”Di China dulu korupsinya bukan main,”katanya.
”Tetapi bangsa itu kemudian memutuskan yang lalu kemudian disudahi. Tapi kemudian negara itu membuat undang-undang antikorupsi yang keras. Siapa pun kemudian ketahuan korupsi lalu dijatuhi hukuman mati.”

GURU BESAR TERCEPAT DALAM USIA MUDA

Pada masa itu. karier seorang akademisi atau dosen dimulai dari jabatan Asisten Ahli Madya, kemudian Asisten Ahli, Lektor Muda, Lektor Madya dan terakhir Guru Besar. Begitu juga Mahfud, yang mengawali karier sebagai dosen di Fakultas Hukum UII Yogyakarta dengan jabatan Asisten Ahli Madya pada tahun 1984. Tetapi urutan itu tidak berlaku bagi Mahfud MD, sebab usai meraih gelar Doktor pada tahun 1993, langsung menduduki jabatan Lektor Madya. Artinya Mahfud melompati jabatan Asisten Ahli dan Lektor Muda. Lompatan itu dimungkinkan dan bukan sesuatu yang direkayasa. Kemampuan berprestasi dan menghimpun kum (Comulative Credit Poin) sangat menentukan kemungkinan terjadinya lompatan. Mahfud berhasil menghimpin kum dari aktivitasnya mengajar, meneliti, menjadi narasumber seminar, menulis jurnal ilmiah dan buku, terlibat berbagai organisasi kemasyarakatan dan lain-lain. 

Didukung oleh karya tulisnya yang sangat banyak dan bervariasi, baik dalam bentuk buku teks ilmiah, jurnal maupun makalah ilmiah, artikel dan kolom di berbagai media massa, sampai academic appraisal, maka dari Lektor Madya, Mahfud melompat lagi, langsung menjadi Guru Besar. Jika dihitung dari awal menjadi dosen sampai meraih gelar guru besar, Mahfud hanya membutuhkan waktu 12 tahun. Hal itu menjadi sesuatu yang cukup berkesan baginya. Sebab umumnya seseorang bisa merengkuh gelar Guru Besar minimal membutuhkan waktu 20 tahun sejak awal kariernya. Dengan rentang waktu tersebut, Mahfud memegang rekor tercepat dalam sejarah pencapaian gelar Guru Besar. Pencapain itu diraih Mahfud saat usianya baru menginjak 41 tahun. Tidak heran jika pada waktu itu, Mahfud tergolong sebagai Guru Besar termuda di zamannya. Satu nama yang dapat disejajarkan adalah Yusril Ihza Mahendra, yang juga meraih gelar Guru Besar pada usia muda.

PROFIL SINGKAT

NamaMoh. Mahfud MD
AlamatJl. Medan Merdeka Barat No.6 Jakarta Pusat
Tempat/Tanggal LahirSampang, Madura / 13 Mei 1957
AgamaIslam
JabatanKetua Mahkamah Konstitusi RI
Pendidikan1. Madrasah Ibtida'iyah di Pondok Pesantren al Mardhiyyah, Waru, Pamekasan, Madura.
2. SD Negeri Waru Pamekasan, Madura.
3. Pendidikan Guru Agama Negeri (PGAN), SLTP.
4 Tahun, Pamekasan Madura 4. Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN), SLTA 3 Tahun,
   Yogyakarta.
5. S1 Fakultas Hukum, Jurusan Hukum Tata Negara, Universitas Islam Indonesia (UII),
    Yogyakarta.
6. S1 Fakultas Sastra dan Kebudayaan (Sasdaya) Jurusan Sastra Arab, Universitas
    Gajah Mada, Yogyakarta.
7. Program Pasca Sarjana S2, Ilmu Politik, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
8. Program Doktoral S3, Ilmu Hukum Tata Negara, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
KarirH Moh Mahfud MD lebih dikenal sebagai staf pengajar dan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta sejak tahun 1984. Sebelum menjabat sebagai Hakim Konstitusi Prof Mahfud MD pernah menjabat sebagai Menteri Pertahanan RI (2000-2001), Menteri Kehakiman dan HAM (2001), Wakil Ketua Umum Dewan Tanfidz DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) (2002-2005), Rektor Universitas Islam Kadiri (2003-2006), Anggota DPR-RI, duduk Komisi III (2004-2006), Anggota DPR-RI, duduk Komisi I (2006-2007), Anggota DPR-RI, duduk di Komisi III (2007-2008), Wakil Ketua Badan Legislatif DPR-RI (2007-2008), Anggota Tim Konsultan Ahli Pada Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Depkum-HAM Republik Indonesia. Selain itu, beliau juga masih aktif mengajar di Universitas Islam Indonesia (UII), UGM, UNS, UI, Unsoed, dan lebih dari 10 Universitas lainnya pada program Pasca Sarjana S2 & S3. Mata kuliah yang diajarkan adalah Politik Hukum, Hukum Tata Negara, Negara Hukum dan Demokrasi serta pembimbing penulisan tesis dan desertasi.
OrganisasiMahkamah Konstitusi RI